Senin, 12 Maret 2012

Laporan Klinik Sindroma Guillain-Barre (SGB)


BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.




BAB II
ANATOMI FISIOLOGI
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi tiga, yaitu saraf otak, saraf sumsum tulang belakang, dan saraf tepi. Saraf otak dan saraf sumsum tulang belakang adalah saraf pusat. Pada saraf tepi, saraf menghubungkan antara saraf pusat dengan indera dan otot. Saraf otak ibarat chip dalam komputer. Sistem saraf sendiri merupakan cabang dari sistem koordinasi selain sistem hormon dan sistem otot.
ð  Sistem kardiovaskular: memompa darah ke seluruh tubuh
ð  Sistem pencernaan: pemrosesan makanan yang terjadi di dalam mulut, perut, dan usus
ð  Sistem endokrin: komunikasi dalam tubuh dengan hormon
ð  Sistem kekebalan: mempertahankan tubuh dari serangan benda yang menyebabkan penyakit
ð  Sistem integumen: kulit, rambut.
ð  Sistem limfatik: struktur yang terlibat dalam transfer limfa antara jaringan dan aliran darah
ð  Sistem otot: menggerakkan tubuh
ð  Sistem saraf: mengumpulkan, mengirim, dan memproses informasi dalam otak dan saraf
ð  Sistem reproduksi: organ seks
ð  Sistem pernafasan: organ yang digunakan bernafas, paru-paru
ð  Sistem rangka: sokongan dan perlindungan struktural dengan tulang
ð  Sistem urin: ginjal dan struktur yang dihubungkan dalam produksi dan ekskresi urin

BAB III
PATOLOGI TERAPAN
A.   Defenisi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.

B.   Patologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1.      didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2.      adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3.      didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-sarafperifer.
Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.

C.   Gambaran klinis
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Gejala Klinis antara lain:
1.      Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal
.
a.       Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
b.      Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
c.       Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
d.      Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
e.       Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
f.       Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase yaitu:
Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
Fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.















BAB IV
STATUS KLINIK

A.    Data-Data Medis Rumah Sakit
a.     Diagnosa medis     :  GBS
b.    Catatan Klinik       : .
c.     Terapi Umum        : Medicamentosa.
d.    Rujukan                 : Mohon konsul Fisioterapis pasien GBS.
e.     Tanggal masuk RS : 12 november 2009

B.     Pemeriksaan Fisioterapi
A.    Anamnesis
a.       Anamnesis Umum
Nama                                       : Ny. D N
Umur                                       : 54 tahun.
Alamat                                                            : Jl. Todopuli IV stp 4. No. 17.
Jenis kelamin                           : Perempuan
Agama                                     : Nasrani
Pekerjaan                                 : PNS
b.      Anamnesis Khusus

            Keluhan Utama                       : Kelemahan .
                                    Letak keluhan                         : kedua tungkai pasien.
                     Kapan terjadi                          : tanggal 12 November 2009
                                    Riwayat penyakit                    : sakid badan dialami ± 3 hari sebelum masuk RS, demam ( - ), riwayat demam ( - ), batuk pilek ( - ), muntah-muntah ( - ), ngilu ulu hati ( - ), nyeri dada ( - ), sesak ( - ), DM ( - ), asam urat ( - ) kolesterol ( - ).

c. Anamnesis Sistem
a. Kepala dan leher                       : Tidak ada gangguan
b. Kardiovaskuler                          : Tidak ada gangguan
c. Respirasi                                    : Tidak ada gangguan
f. Musculoskeletal                          :Terdapat kelemahan pada kedua tungkai.
B. Pemeriksaan Fisik
a)      Vital Sign
§  Tekanan Darah            : 130/100 mmHg
§  Denyut Nadi               : 72 x/menit
§  Pernapasan                  : 20 x/menit
§  Temperatur                  : 360 C

b)      Inspeksi                      
ð  Statis                     :Pasien dalam keadaan baring lemah.
ð  Dinamis                 :Pasien kesulitan  menggerakkan  kedua tungkainya

B.     Pemeriksaan Spesifik  
a.       Hasil X-Ray          : osteofit L1-5, spondilolisis lumbal
b.      Tes sensorik          
- tes tajam tumpul                   : hiposensasi
- tes rasa sakit                          : hiposensasi
- tes rasa posisi                        :  terganggu
- tes diskriminasi 2 titik           :  hiposensasi
c.       Tes motorik
- reaksi keseimbangan mengangkat pantat sulit dilakukan
- reaksi keseimbangan duduk belum bisa dilakukan
d.   Palpasi.
       Otot-otot kedua tungkai mengalami hipotonus.
d.      ADL Test             
-          ADL duduk
-          ADL berdiri
-          ADL berjalan
Hasilnya pasien tidak dapat dilakukan.
e.       Tes Koordinasi
ð  Heel to toe         : terganggu
ð  Heel to knee                   : terganggu
ð  toe to finger terapis        : terganggu
f.       MMT
GROUP OTOT
Kiri
Kanan
Plantar Fleksor Ankle
3
3
Dorso fleksor Ankle
2
2
Fleksor Knee
2
2
Ekstensor knee
3
3
Fleksor Hip
2
2
Ekstensor Hip
2
2
Adduktor Hip
3
3
Abduktor Hip
2
2

g.       Kognitif,intrapersonal, dan interpersonal
Kognitif                   : Pasien mampu mengetahui orientasi waktu dan tempat, memory dan perhatian, bahasa baik, pasien  dapat mengikuti instruksi terapis dengan baik saat latihan.
 Intrapersonal          : pasien mempunyai motivasi untuk sembuh.
Interpersonal            : pasien berkomunikasi dengan baik, baik dengan keluarga maupun fisioterapis.

Diagnosis Fisioterapi
       “Gangguan ADL tungkai akibat GBS”



C.    Problematik FT
·         Kelemahan otot.
·         Gangguan keseimbangan.
·         Gangguan koordinasi
·         Gangguan ADL.

D.    Tujuan Fisioterapi   
ð  Support mental
ð  Memperkuat otot
ð  Memperbaiki keseimbangan
ð  Memperbaiki koordinasi.
ð  Memperbaiki ADL.
ð  Mencegah komplikasi decubitus
ð  Mencegah kontraktur.

E.     Interfensi Fisioterapi
ð  Infra Red Rays
Tujuan    :   Meningkatkan metabolisme dan Pree eleminary exercise
Teknik    : Pasien tidur terlentang di bad dengan rileks, arahkan lampu IRR ke ekstermitas Sup.Inf  kedua tungkai dengan segala penghambat ditiadakan. Dengan dosis :
F             :   3 kali seminggu
I              :   30 cm
T             :   Kontak langsung
T             :   10 menit
ð  Positioning
Tujuan    :   Mencegah decubitus
Teknik    : pasien tidur terlentang, fisioterapi memfleksikan salah satu tungkai (tungkai kanan)  pasien, kemudia secara pasief, memposisikan pasien sehingga posien tidur miring dengan cara menarik tangan dan bahu yang berlawanan.
F             :   setiap 2 jam
I              :   toleransi pasien
T             :   Kontak langsung
T             :   15 menit
ð  PNF
Tujuan    :   Memperkuat otot dan meningkatkan ADL
F             :   3 kali seminggu
I              :   pola gerakan shoulder dan tungkai
T             :   Kontak langsung
T             :   6 kali repetisi
ð  Balance exercise
Tujuan    :   Meningkatkan keseimbangan
Teknik    : pasien tidur terlentang, dengan posisi kedua knee fleksi . kemudian pasien di instruksikan mengangkat pantatnya dengan menumpukan berat badan pada kedua tungkainya.
F             :   3 kali seminggu
I              :   toleransi pasien
T             :   breaging.
T             :   4 kali repetisi
ð  Exercise
Tujuan    :   menjaga stabilitas sendi
Teknik    : pasien tidur terlentang, dengan keadaan rileks. Fisioterapis menggerakkan semua regio tungkai ke semua arah gerakan.
F             :   3 kali seminggu
I              :   Full ROM
T             :   PROMEX dan AAROMEX
T             :   6 kali repetisi
ð  Stretching
Tujuan    : mencegah kontraktur
Teknik    : pasien tidur terlentang, dengan keadaan rileks. Salah satu tangan Fioterapis memfiksasi di knee pasien, sedangkan tangan yang lainnya memfiksasi di ankle. Kemudian secara pasif, fisioterapi mengulur otot;otot tungkai pasien.
F             : Setiap hari
I              : penguluran maksimal
T             : kontak langsung
T             : 6 kali repetisi.
G.    Prognosis
Quo ad vitam              : baik
Quo ad sanam             : baik
Quo ad fungsionam    : sedang
Quo ad cosmeticam    : sedang
     
H.  Evaluasi
1. Evaluasi sesaat        : Pasien nampak lelah setelah latihan dan merasa sedikit membaik sesaat setelah terapi.
2. Evaluasi berkala      : Setelah beberapa hari, perkembangan keadaan pasien sebagai berikut :
ð  Keadaan psikis pasien semakin membaik dan bertambah semangat untuk latihan,
ð  Kekuatan otot mulai meningkat dari nilai 2 dari setiap group otot fleksor dan ekstensor menjadi 3..
ð  Reaksi keseimbangan mulai meningkat,
ð  Perkembangan ADL sudah menunjukkan peningkatan yang memuaskan (duduk dan berdiri sudah dapat dilakukan).


H.    Hasil Terapi Akhir   
Mulai dari awal di Fisioterapi sampai terakhir. Pasien merasakan ada sedikit perubahan  yaitu  peningkatan kekuatan ototnya. Dan

I.       Follow – UP
No
Hari / Tanggal
Problematik
Intervensi
Evaluasi
1
10 nov 09
-Menurunya kekuatan otot
-Gangguan ADL
-IRR
-EXERCISE

_
2
12 nov 2009
-Menurunya kekuatan otot
-Gangguan ADL
-IRR
-EXERCISE

Kekuatan otot pasien masih lemah dengan nilai otot 2, aktivitas fungsionalnya belum efektif seperti menyisir, makan, minum, dan berpakaian sendiri.
3
Senin, 14 nov 2009
-Menurunya kekuatan otot
-Gangguan ADL
-IRR
-EXERCISE

Kekuatan otot pasien masih lemah dengan nilai otot 2, aktivitas fungsionalnya belum efektif seperti menyisir, makan, minum, dan berpakaian sendiri.
4
Jumat, 17 nov 2009
- Menurunya kekuatan otot
- Gangguan ADL
-IRR
-EXERCISE

Kekuatan otot pasien sudah bertambah dengan nilai otot 3 aktivitas fungsionalnya sudah ada peningkatan walaupun belum maksimal seperti menyisir, makan, minum, dan berpakaian sendiri.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar