BAB
I
PENDAHULUAN
Sindroma
Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai
pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.
BAB
II
ANATOMI
FISIOLOGI
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi
tiga, yaitu saraf otak, saraf sumsum tulang belakang, dan saraf tepi. Saraf
otak dan saraf sumsum tulang belakang adalah saraf pusat. Pada saraf tepi,
saraf menghubungkan antara saraf pusat dengan indera dan otot. Saraf otak
ibarat chip dalam komputer. Sistem saraf sendiri merupakan cabang dari sistem
koordinasi selain sistem hormon dan sistem otot.
ð
Sistem kardiovaskular: memompa darah ke
seluruh tubuh
ð
Sistem pencernaan: pemrosesan makanan
yang terjadi di dalam mulut, perut, dan usus
ð
Sistem endokrin: komunikasi dalam tubuh
dengan hormon
ð
Sistem kekebalan: mempertahankan tubuh
dari serangan benda yang menyebabkan penyakit
ð
Sistem integumen: kulit, rambut.
ð
Sistem limfatik: struktur yang terlibat
dalam transfer limfa antara jaringan dan aliran darah
ð
Sistem otot: menggerakkan tubuh
ð
Sistem saraf: mengumpulkan, mengirim,
dan memproses informasi dalam otak dan saraf
ð
Sistem reproduksi: organ seks
ð
Sistem pernafasan: organ yang digunakan
bernafas, paru-paru
ð
Sistem rangka: sokongan dan perlindungan
struktural dengan tulang
ð
Sistem urin: ginjal dan struktur yang
dihubungkan dalam produksi dan ekskresi urin
BAB III
PATOLOGI TERAPAN
A.
Defenisi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia,
kejadiannya pada semua musim. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada
setiap musim. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis
tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Insidensi sindroma
Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang
pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita
sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah
kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang
tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I,
II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita
hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki
dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan
penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini
seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya karena terjadi pada usia
produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun
pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa
ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile
Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl
Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis.Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu
kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah
suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang
simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan
kadang-kadang juga muka.
B.
Patologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia,
kejadiannya pada semua musim. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada
setiap musim. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis
tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Insidensi sindroma
Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang
pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita
sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah
kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang
tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I,
II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita
hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki
dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan
penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini
seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya karena terjadi pada usia
produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun
pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa
ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile
Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl
Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis.Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu
kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah
suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang
simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan
kadang-kadang juga muka.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi,
trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada
SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa
kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme
imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1.
didapatkannya antibodi atau adanya
respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2.
adanya auto antibodi terhadap sistem
saraf tepi.
3.
didapatkannya penimbunan kompleks
antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Peran
imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel
limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel
limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami
pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum
respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan
pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain
akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell =
APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah
itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E
selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial
akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit
T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak
tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak
perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada
hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke
sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke
tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur. perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit
yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan
ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan
berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag
yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan
dan akson.Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan
timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim
saraf-sarafperifer.
Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.
Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi
mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi
terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel
limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel
mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi
segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks
spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis
diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada
daerah tersebut.
C.
Gambaran
klinis
Waktu antara terjadi infeksi atau
keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis.
Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari.
Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Gejala Klinis antara
lain:
1.
Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah
kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar
penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.
Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian
menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
a.
Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada
bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral.
Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti
pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering
dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui
seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
b.
Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering
dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi
tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara
kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia
bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan
menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
c.
Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25
% penderita SGB9. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang
sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.
Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini
jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
d.
Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan
komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik.
Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan
otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
e.
Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema,
penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar
protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales
sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
f.
Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3
fase yaitu:
Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
Fase plateau, dimana kelumpuhan telah
mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling
sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.
Fase rekonvalesen ditandai oleh
timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa
bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
BAB
IV
STATUS
KLINIK
A.
Data-Data Medis Rumah Sakit
a.
Diagnosa
medis : GBS
b. Catatan Klinik :
.
c. Terapi Umum : Medicamentosa.
d. Rujukan : Mohon konsul Fisioterapis pasien GBS.
e. Tanggal masuk RS : 12 november 2009
B.
Pemeriksaan Fisioterapi
A.
Anamnesis
a.
Anamnesis
Umum
Nama :
Ny. D N
Umur :
54
tahun.
Alamat :
Jl. Todopuli IV stp 4. No. 17.
Jenis kelamin :
Perempuan
Agama :
Nasrani
Pekerjaan :
PNS
b.
Anamnesis
Khusus
Keluhan Utama : Kelemahan .
Letak
keluhan : kedua tungkai pasien.
Kapan
terjadi : tanggal 12 November 2009
Riwayat
penyakit : sakid badan dialami ± 3 hari sebelum masuk RS, demam ( -
), riwayat demam ( - ), batuk pilek ( - ), muntah-muntah ( - ), ngilu ulu hati
( - ), nyeri dada ( - ), sesak ( - ), DM ( - ), asam urat ( - ) kolesterol ( -
).
c. Anamnesis
Sistem
a. Kepala dan leher :
Tidak ada gangguan
b. Kardiovaskuler :
Tidak ada gangguan
c. Respirasi :
Tidak ada gangguan
f. Musculoskeletal :Terdapat kelemahan pada kedua tungkai.
B. Pemeriksaan Fisik
a)
Vital
Sign
§
Tekanan
Darah : 130/100
mmHg
§
Denyut
Nadi : 72 x/menit
§
Pernapasan : 20
x/menit
§
Temperatur : 360 C
b) Inspeksi
ð
Statis :Pasien dalam keadaan
baring lemah.
ð
Dinamis :Pasien kesulitan menggerakkan
kedua tungkainya
B. Pemeriksaan Spesifik
a.
Hasil X-Ray :
osteofit L1-5, spondilolisis lumbal
b.
Tes sensorik
- tes tajam tumpul :
hiposensasi
- tes rasa sakit :
hiposensasi
- tes rasa posisi : terganggu
- tes diskriminasi 2 titik :
hiposensasi
c.
Tes motorik
-
reaksi keseimbangan mengangkat pantat sulit dilakukan
-
reaksi keseimbangan duduk belum bisa dilakukan
d.
Palpasi.
Otot-otot kedua tungkai mengalami hipotonus.
d.
ADL
Test
-
ADL
duduk
-
ADL
berdiri
-
ADL
berjalan
Hasilnya pasien tidak
dapat dilakukan.
e.
Tes
Koordinasi
ð
Heel
to toe : terganggu
ð
Heel
to knee : terganggu
ð
toe to finger terapis :
terganggu
f.
MMT
GROUP OTOT
|
Kiri
|
Kanan
|
Plantar
Fleksor Ankle
|
3
|
3
|
Dorso
fleksor Ankle
|
2
|
2
|
Fleksor
Knee
|
2
|
2
|
Ekstensor
knee
|
3
|
3
|
Fleksor
Hip
|
2
|
2
|
Ekstensor
Hip
|
2
|
2
|
Adduktor
Hip
|
3
|
3
|
Abduktor
Hip
|
2
|
2
|
g. Kognitif,intrapersonal, dan
interpersonal
Kognitif : Pasien mampu mengetahui orientasi waktu dan
tempat, memory dan perhatian, bahasa baik, pasien dapat
mengikuti instruksi terapis dengan baik saat latihan.
Intrapersonal
: pasien mempunyai motivasi
untuk sembuh.
Interpersonal : pasien berkomunikasi dengan baik, baik
dengan keluarga maupun fisioterapis.
Diagnosis Fisioterapi
“Gangguan ADL tungkai akibat GBS”
C.
Problematik FT
·
Kelemahan otot.
·
Gangguan keseimbangan.
·
Gangguan koordinasi
·
Gangguan ADL.
D. Tujuan Fisioterapi
ð Support
mental
ð Memperkuat
otot
ð Memperbaiki
keseimbangan
ð Memperbaiki
koordinasi.
ð Memperbaiki
ADL.
ð Mencegah
komplikasi decubitus
ð Mencegah
kontraktur.
E. Interfensi
Fisioterapi
ð Infra Red Rays
Tujuan :
Meningkatkan metabolisme dan Pree
eleminary exercise
Teknik : Pasien
tidur terlentang di bad dengan rileks, arahkan lampu IRR ke ekstermitas Sup.Inf
kedua tungkai dengan segala penghambat ditiadakan. Dengan
dosis :
F :
3 kali seminggu
I :
30 cm
T :
Kontak langsung
T :
10 menit
ð Positioning
Tujuan : Mencegah decubitus
Teknik : pasien tidur terlentang, fisioterapi
memfleksikan salah satu tungkai (tungkai kanan)
pasien, kemudia secara pasief, memposisikan pasien sehingga posien tidur
miring dengan cara menarik tangan dan bahu yang berlawanan.
F :
setiap 2 jam
I :
toleransi pasien
T :
Kontak langsung
T : 15 menit
ð PNF
Tujuan : Memperkuat otot dan meningkatkan ADL
F :
3 kali seminggu
I :
pola gerakan shoulder
dan tungkai
T :
Kontak langsung
T :
6 kali repetisi
ð Balance exercise
Tujuan : Meningkatkan keseimbangan
Teknik : pasien tidur terlentang, dengan posisi
kedua knee fleksi . kemudian pasien di instruksikan mengangkat pantatnya dengan
menumpukan berat badan pada kedua tungkainya.
F :
3 kali seminggu
I : toleransi
pasien
T :
breaging.
T :
4 kali repetisi
ð Exercise
Tujuan : menjaga stabilitas sendi
Teknik : pasien tidur terlentang, dengan keadaan
rileks. Fisioterapis menggerakkan semua regio tungkai ke semua arah gerakan.
F :
3 kali seminggu
I :
Full ROM
T :
PROMEX dan AAROMEX
T :
6 kali repetisi
ð Stretching
Tujuan : mencegah
kontraktur
Teknik : pasien
tidur terlentang, dengan keadaan rileks. Salah satu tangan Fioterapis memfiksasi
di knee pasien, sedangkan tangan yang lainnya memfiksasi di ankle. Kemudian
secara pasif, fisioterapi mengulur otot;otot tungkai pasien.
F : Setiap
hari
I : penguluran
maksimal
T : kontak
langsung
T : 6
kali repetisi.
G.
Prognosis
Quo ad vitam : baik
Quo ad sanam : baik
Quo ad fungsionam : sedang
Quo ad cosmeticam : sedang
H. Evaluasi
1. Evaluasi sesaat :
Pasien nampak lelah setelah latihan dan merasa sedikit membaik sesaat setelah
terapi.
2. Evaluasi berkala :
Setelah beberapa hari, perkembangan keadaan pasien sebagai berikut :
ð
Keadaan
psikis pasien semakin membaik dan bertambah semangat untuk latihan,
ð
Kekuatan
otot mulai meningkat dari nilai 2 dari setiap group otot fleksor dan ekstensor
menjadi 3..
ð
Reaksi
keseimbangan mulai meningkat,
ð
Perkembangan
ADL sudah menunjukkan peningkatan
yang memuaskan (duduk dan berdiri sudah dapat dilakukan).
H.
Hasil Terapi Akhir
Mulai dari awal di Fisioterapi sampai terakhir. Pasien merasakan ada sedikit perubahan yaitu
peningkatan kekuatan ototnya.
Dan
I. Follow – UP
No
|
Hari / Tanggal
|
Problematik
|
Intervensi
|
Evaluasi
|
1
|
10
nov 09
|
-Menurunya
kekuatan otot
-Gangguan
ADL
|
-IRR
-EXERCISE
|
_
|
2
|
12
nov 2009
|
-Menurunya
kekuatan otot
-Gangguan
ADL
|
-IRR
-EXERCISE
|
Kekuatan
otot pasien masih lemah dengan nilai otot 2, aktivitas fungsionalnya belum
efektif seperti menyisir, makan, minum, dan berpakaian sendiri.
|
3
|
Senin,
14 nov 2009
|
-Menurunya
kekuatan otot
-Gangguan
ADL
|
-IRR
-EXERCISE
|
Kekuatan
otot pasien masih lemah dengan nilai otot 2, aktivitas fungsionalnya belum
efektif seperti menyisir, makan, minum, dan berpakaian sendiri.
|
4
|
Jumat,
17 nov 2009
|
-
Menurunya kekuatan otot
-
Gangguan ADL
|
-IRR
-EXERCISE
|
Kekuatan
otot pasien sudah bertambah dengan nilai otot 3 aktivitas fungsionalnya sudah
ada peningkatan walaupun belum maksimal seperti menyisir, makan, minum, dan
berpakaian sendiri.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar