Jumat, 23 September 2011

Perkataan Ibarat Paku yang ditancapkan di atas Papan

Tak satupun hal dalam sisi kehidupan ini yang terlewatkan oleh islam. Dalam segala aspek kehidupan ada adab. Baik dari hal-hal yang serius hingga hal-hal kecil dan sepele dalam pandangan manusia sekalipun. Terkadang perhatian kita hanya tertuju kepada perkara yang jelas-jelas kelihatan dan besar dari pada perkara yang kecil. Dalam tindakan, tidak ada istilah kecil atau besar. Setiap perbuatan akan memberikan dampaknya dan akan kembali kepada pelakunya.
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata bahwa janganlah sekali-kali menganggap ada sesuatu lebih penting dari jiwamu sendiri. Karena sesungguhnya, tak ada istilah sedikit dalam perbuatan dosa. Begitu pekanya orang-orang sholeh terdahulu dalam banyak tindakan mereka. Jika disaat itu, seseorang begitu takutnya berbuat salah dan berlebihan dalam perkara yang diperbolehkan, bisa kita lihat sendiri sekarang bahwa seseorang yang terang-terangan berbuat maksiat malah dengan ringannya tertawa atas tindakannya (Na’udzubillahi min zalik).
Dalam pergaulan, suatu waktu mungkin tanpa sengaja kita pernah menyakiti hati orang lain, baik dalam sikap maupun perkataan. Waktu berlalu. Kita menganggap apa yang telah kita lakukan merupakan perkara remeh dan wajar dan berharap dengan berlalunya waktu, goresan yang pernah kita torehkan di hati orang yang pernah kita lukai akan hilang. Sadarkah kita bahwa sebuah perkataan ibarat sebatang paku yang sedang kita genggam. Ketika kita berucap hal yang kasar dan melukai hati seseorang, walau kemudian kita bermohon maaf kepadanya, sesungguhnya kita bagaikan tengah menancapkan sebatang paku tersebut pada permukaan sebuah papan yang kemudian kita cabut.
Lihatlah apa yang tertinggal. Paku tadi sudah pasti akan meninggalkan bekas pada permukaannya. Bekas paku itu akan meninggalkan lubang-lubang kecil pada permukaan papan. Permukaan papan tak akan kembali halus seperti semula. Manusia selalu diberi kesempatan kesempatan dalam bersikap, memilih dalam bertindak ketika berhadapan dengan banyak perkara. Memilih untuk bersikap terburu-buru dan emosional yang kemudian menimbulkan penyesalan atau memilih dengan kehati-hatian dalam pertimbangan yang akan menghasilkan sebuah keputusan yang bijaksana.
Hasan Al Bashri pernah berkata bahwa Allah merahmati seorang hamba yang berhenti saat terlintas keinginannya. Jika itu dilakukan untuk Allah, ia lanjutkan, jika tidak ia tunda.
Benarlah kiranya sebuah riwayat yang menyatakan bahwa berfikir satu jam untuk mempertimbangkan tindakan adalah lebih berharga dari pada beribadah selama 70 tahun. Karena tidak lain dengan begitu seseorang akan menjadi bertimbang dalam setiap langkah dan keputusan yang akan dibuat, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut urusan orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar